Entri Populer

Sabtu, 14 April 2012

Aktiva Lancar


A.    Pengertian Aktiva Lancar
Aktiva lancar atau dapat disebut Aset lancar. Aset lancar (Inggris: current asset) dalam akuntansi adalah jenis aset yang dapat digunakan dalam jangka waktu dekat, biasanya satu tahun.
B.     Jenis-jenis aktiva lancar dalam akuntansi pajak:
      Kas dan Bank
      Piutang
      Persediaan

C. Kas dan Bank
Kas      :    Alat pembayaran yang siap dan bebas digunakan untuk membiayai kegiatan umum perusahaan.
Bank   :    sisa rekening giro perusahaan di bank yang dapat digunakan secara bebas untuk  membiayai kegiatan umum perusahaan.

Adapun yang bukan termasuk kas & bank yaitu dana yang disishkan untuk tujuan tertentu seperti : perangko, cek mundur, cek kosong, rekening giro pada bank luar negeri yang tidak dapat segera dibayar.
Bunga rekening giro :
F Akuntansi Komersial : dicatat sebagai penghasilan
F Akuntansi Fiskal : tidak dicatat sebagai penghasilan, karena bunga sudah dikenakan PPh dengan tarif final 15% dan tidak boleh digabung dengan penghasilan yang lain (dikenakan tarif umum).

Uang kas ini sangat mudah dipindahtangankan dan mungkin tidak dapat dibuktikan sehingga penggendalian kas yang ketat sangatlah penting, terutama sekali pengendalian interennya. Bentuk-bentuk prosedur pengendaliannya terlihat antara lain :
F Untuk penerimaan uang :
1.      Harus ditunjukkan dengan jelas fungsi-fungsi dalam penerimaan kas dan setiap penerimaan kas harus segera dicatat dan disetor ke bank.
2.      Diadakan pemisahan fungsi antara pengurusan kas dengan fungsi pencatatan kas.
3.      Diadakan pengawasan yang ketat terhadap fungsi penerimaan dan pencatatan kas.
4.      Dibuat laporan kas untuk setiap hari sebagai pertanggungjawaban kas.

F Untuk pengeluaran uang :
1.      Pengeluaran uang harus menggunakan cek, kecuali pengeluaran-pengeluaran yang jumlahnya kecil, yaitu menggunakan kas kecil.
2.      Dibentuk kas kecil
3.      Diadakan pemisahan antara pihak yang mengumpulkan bukti pengeluaran, yang menulis cek dan yang menandatangani cek serta yang mencatat pengeluaran kas.
4.      Pemeriksaan internal pengeluaran kas harian sebagai pertanggungjawaban.

Untuk tujuan pengendalian kas dan bank perusahaan melakukan pemisahaan dana antara kas kecil (dipakai untuk pengeluaran harian) dan kas besar (dipakai untuk pengeluaran tertentu). Dan pengelolaan kas kecil dapat menggunakan dua metode yaitu metode imprest dan metode fluktuasi.
a.      Imprest Method
Pada metode atau system imprest, jumlah pada akun “kas kecil” selalu tetap, yaitu sebesar cek yang diserahkan kepada kasir kecil untuk membentuk dana kas kecil. Kasir kas kecil selalu menguangkan cek ke bank yang digunakan untuk membayar pengeluaran kecil dan setiap melakukan pembayaran, kasir kas kecil membuat bukti pengeluaran. Pencatatan pengeluaran dilakukan pada saat pengisian kembali.
Contoh :
PT. ABC pada tanggal 1 Agustus 2009 membentuk dana kas kecil sebesar Rp. 1.000.000,00. Pengeluaran kas kecil sampai dengan 16 Agustus 2009 sebesar Rp. 800.000,00 dengan rincian berikut :
Beban BBM Motor Operasional
Rp
450.000,00
Beban Alat tulis Kantor
Rp
100.000,00
Beban Angkut
Rp
200.000,00
Beban Administrasi Kantor
Rp
50.000,00
Total
Rp
800.000,00

Pada tanggal 16 Agustus 2009 dilakukan pengisian kembali.
Ayat jurnal yang disusun atas transaksi di atas adalah :
a.       Saat Pengisian Kas kecil
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)
1 Agt 2009
Kas Kecil
1.000.000,00

Bank

1.000.000,00

b.      Saat Pengeluaran Kas
Tidak perlu jurnal
c.       Saat Pengisian Kembali
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)
1 Agt 2009
Beban BBM Motor Operasional
450.000,00


Beban Alat tulis Kantor
100.000,00


Beban Angkut
200.000,00


Beban Administrasi Kantor
50.000,00


Bank

1.000.000,00

b.      Fluctuation Method
Metode fluktuasi (fluctuation method) tidak berbeda dengan metode imprest dalam hal pembentukan dana. Namun pada metode fluktuasi, saldo uang yang dicatat pada akun kas kecil selalu berubah (tidak tetap). Fluktuasi tersebut sesuai dengan jumlah pengisian kembali dan pengeluaran-pengeluaran dari kas kecil. Pencatatan dilakukan secara langsung pada saat pengeluaran.

Contoh :
PT Andalan membentuk dana kas kecil sebesar Rp. 500.000,00 pada tanggal 1 Desember 2008. Transaksi yang terjadi selanjutnya sebagai berikut :
3 Des 2008
Membayar langganan surat kabar
Rp
60.000,00
8 Des 2008
Membeli buku-buku dan alat-alat tulis
Rp
120.000,00
12 Des 2008
Membayar rekening listrik
Rp
220.000,00
15 Des 2008
Mengisi kembali dana kas kecil
Rp
200.000,00

Ayat jurnal yang dibuat untuk transaksi-transaksi diatas adalah :
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)
1 Des 2008
Kas Kecil
500.000,00


Bank

500.000,00
3 Des 2008
Beban Langganan Surat Kabar
60.000,00


Kas Kecil

60.000,00
8 Des 2008
Beban Alat Tulis Kantor
120.000,00


Kas Kecil

120.000,00
12 Des 2008
Beban Listrik
220.000,00


Kas Kecil

220.000,00
15 Des 2008
Kas Kecil
200.000,00


Bank

200.000,00

Pada akhir periode tidak diperlukan lagi penyusunan ayat jurnal penyesuaian karena setiap pengeluaran kas kecil telah dilakukan pencatatan.

Rekonsilasi Bank
Rekonsilasi ini sangat bermanfaat untuk mengecek ketelitian pencatatan akun kas dan catatan bank serta untuk mengetahui penerimaan atau pengeluaran yang telah terjadi di bank tetapi belum dicatat oleh perusahaan. Akibat yang ditimbulkannya adalah perbedaan antara saldo menurut catatan kas dengan saldo menurut laporan bank.

Apabila dikelompokkan yang dapat menimbulkan perbedaan tersebut adalah :
1.      Elemen-elemen yang oleh perusahaan sudah dicatat sebagai penerimaan uang tetapi belum dicatat oleh bank.
2.      Elemen-elemen yang sudah dicatat sebagai penerimaan oleh bank tetapi belum dicatat oleh perusahaan.
3.      Elemen-elemen yang sudah dicatat oleh perusahaan sebagai pengeluaran tetapi belum dicatat oleh bank.
4.      Elemen-elemen yang sudah dicatat oleh bank sebagai pengeluaran tetapi belum dicatat oleh perusahaan.
Penyusunan rekonsilasi bank dapat dilakukan dalam dua macam cara yaitu :
1.      Rekonsilasi saldo akhir yang bisa dibuat dalam 2 bentuk :
a.       Laporan rekonsiliasi saldo bank dan saldo kas untuk menunjukkan saldo yang benar.
b.      Laporan rekonsiliasi saldo bank pada saldo kas.
2.      Rekonsilasi saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir bias dibuat dalam bentuk :
a.       Laporan rekonsiliasi saldo bank pada saldo kas (4 kolom)
b.      Laporan rekonsiliasi saldo bank dan saldo kas untuk menunjukkan saldo yang benar (8 kolom)
Contoh :
Laporan rekonsiliasi saldo akhir berikut disusun berdasarkan data yang diperoleh dari catatan PT Andalas pada tanggal 31 Desember 2007 :

Laporan bank


Jasa giro
Rp
10.600.000,00
Biaya bank
Rp
900.000,00
Saldo akhir
Rp
793.900.000,00



Perhitungan kas


Setoran dalam perjalanan
Rp
216.000.000,00
Uang kas yang belum disetor
Rp
48.000.000,00



Cek yang masih beredar


Nomor 0980
Rp
70.000.000,00
Nomor 0984
Rp
95.000.000,00
Nomor 0989
Rp
145.000.000,00

Rp
310.000.000,00

Diketahui lebih lanjut bahwa terjadi kesalahan dalam mencatat penerimaan sebesar Rp. 121.400.000,00 salah dicatat sebesar Rp. 122.500.000,00 dan saldo akhir kas sebesar Rp. 740.300.000,00.
Rekonsiliasi laporan bank per 31 Desember 2008 dengan “T account” tampak sebagai berikut:
PT. Andalas
Rekonsiliasi Laporan Bank
Per 31 Desember 2007
(dalam ribuan Rupiah)
Saldo Laporan Bank
793.900,00
Saldo Kas

740.300,00
Ditambah :


Ditambah :


Setoran dalam perjalanan
216.000,00

Jasa giro

10.600,00+
Uang kas belum disetor
48.000,00+






264.000,00+
Dikurangi :




1.057.900,00
Biaya bank
1.900,00

Dikurangi


Koreksi penerimaan
1.100,00+

Cek yang masih beredar :




3.000,00
Nomor 0980
70.000,00




Nomor 0984
95.000,00




Nomor 0989
145.000,00+






310.000,00-


-
Saldo bank yang benar

747.900,00
Saldo kas yang benar

747.900,00

Penyusunan lainnya dapat dilakukan dengan laporan rekonsiliasi saldo bank pada saldo kas sebagai berikut :
PT. Andalas
Rekonsiliasi Laporan Bank
Per 31 Desember 2007
(dalam ribuan Rupiah)
Saldo sesuai laporan bank


793.900,00
Ditambah :



Setoran dalam perjalanan

216.000,00

Uang kas belum disetor

48.000,00

Biaya bank

1.900,00

Koreksi penerimaan

1.100,00+




267.000,00 +



1.060.900,00
Dikurangi :



Cek yang masih beredar



Nomor 0980
70.000,00


Nomor 0984
95.000,00


Nomor 0989
145.000,00+



310.000,00




10.600,00+

Jasa Giro


320.600,00 -
Saldo kas dalam buku


740.300,00

Ayat jurnal dibuat atas rekonsiliasi bank tersebut adalah :
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Kas dan Bank
10.600.000,00


Penghasilan Jasa Giro

10.600.000,00

Biaya Administrasi Bank
1.900.000,00


Kas dan Bank

1.900.000,00

Piutang
1.100.000,00


Kas dan Bank

1.100.000,00

Akuntansi pajak
Perlakuan akuntansi kas dan bank ini tidak diatur tersendiri dalam Undang-undang Pajak, sehingga dalam pengertian kas juga mengikuti ketentuan akunatansi komersial seperti yang tidak termasuk kategori kas, yaitu :
  1. Deposito
  2. Persediaan Perangko dan Materai
  3. Uang Muka
  4. Cek mundur atau cek kosong

D. Piutang Usaha
Pengertian Piutang
Piutang merupakan bagian dari aset lancar. Aset lancar merupakan aset yang diharapkan akan direlisasi dalam siklus aset operasi berjalan. Apabila ditinjau dari sumber terjadinya, piutang digolongkan menjadi dua kategori:
1.      Piutang Usaha
Piutang usaha (account receivables) meliputi piutang yang timbul karena adanya penjualan produk atau penyerahan jasa dalam rangka kegiatan usaha normal perusahaan. Piutang usaha terjadi karena penjualan barang atau penyerahan jasa secara kredit. Piutang ini seluruhnya dapat dimasukkan ke dalam aset lancar, dengan syarat jangka waktu penagihannya kurang dari satu tahun atau satu siklus usaha normal.
2.    Piutang Lain-lain
Piutang lain-lain (other receivables) timbul dari transaksi di luar kegiatan usaha normal perusahaan. Piutang ini diharapkan akan direalisasikan dalam waktu satu tahun.

Penyajian dalam Laporan Keuangan
Penyajian piutang usaha dan piutang lain-lain dalam laporan keuangan harus secara terpisah dengan menggunakan identifikasi yang jelas. Sebagai contoh, desebutkan piutang penjualan angsuran.
Piutang dalam laporan keuangan tersebut juga dinyatakan sebesar jumlah kotor tagihan diikuti dengan jumlah taksiran piutang yang tidak dapat ditagih atau piutamg yang diragukan.
Bentuk piutang lain-lain seperti piutang yang dijaminkan disyaratkan harus diungkapkan dalam catatan laporan keuangan. Demikian pula diperlukan penjelasan untuk penjualan yang diikuti perjanjian untuk dibeli kembali.

Akuntansi Atas Piutang
Perlakuan akuntansi atas piutang tetap mendasarkan pada SAK. Dalam transaksi penjualan biasanya juga terdapat syarat jual beli yang menunjukkan unsur penjualan kredit, sebagai contoh 3/10 dan n/10. Persyaratan dimaksudkan bahwa potongan tunai 3% diberikan apabila pembayaran dilakukan dalam jangka waktu sepuluh setelah tanggal transaksi, namun kredit harus dilunasi sepenuhnya dalam 30 hari.

Metode Penghapusan Piutang   
Kemungkinan tidak semua jumlah piutang dapat ditagih. Jika jumlah piutang yang tidak dapat ditagih relatif kecil, maka perusahaan tidak membentuk cadangan. Sebaliknya apabila piutang ini jumlahnya cukup besar dan berisiko, sebaiknya perusahaan membentuk cadangan.
Metode penghapusan piutang uang digunakan:
a.         Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method)
Pada periode di mana terdapat piutang yang tidak dapat ditagih, maka pada saat itu dilakukan pencatatan.
b.        Metode Penyisihan/Pencadangan (Allowance Method)
Dengan metode ini, piutang yang diperkirakan tidak dapat ditagih dicatat melalui ayat jurnal.

Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
Pada prinsipnya terdapat dua cara dalam menetapkan jumlah penyisihan piutang tidak tertagih.
Ø  Atas dasar Saldo Piutang
Cara ini dilakukan dengan menetapkan suatu persentase terhadap saldo piutang rata-rata atau golongan unsur piutang pada akhir periode.
Contoh:
Saldo piutang per 1 Januari 2009 sebesar Rp 10.000.000,00 dan saldo piutang per 31 Desember 2008 Rp 20.000.000,00 diasumsikan penyisihannya 2%.

Besarnya penyisihan piutang tidak tertagih dihitung sebagai berikut:
Saldo piutang rata-rata                                  = Rp10.000.000 + Rp 20.000.000
                                                                                                2
                                                                       = Rp 15.000.000
Penyisihan piutang tidak tertagih                  = 2% x Rp 15.000.000
                                                                = Rp 7.500.000

Ø  Atas dasar Saldo Penjualan
Cara ini juga dilakukan dengan menetapkan persentase tertentu terhadap penjualan. Dasar yang digunakan dapat menggunakan penjualan kredit atau total penjualan.
Contoh:
Total penjualan kredit tahun 2007 Rp 140.000.000,00. Persentase penyisihan yang ditetapkan perusahaan 2% dari penjualan. Besarnya saldo penyisihan piutang tak tertagih (2% x Rp 140.000.000) = Rp 2.8000.000, sedangkan biaya piutang tidak tertagih juga sama, yaitu (2% x Rp 140.000.000) =  Rp 2.800.000
Apabila cara ini yang digunakan, maka jumlah penyisihan sama dengan yang dibebankan sebagai biaya.


Pembebanan Biaya Piutang Tidak Tertagih
Sebagai contoh diketahui bahwa besarnya penyisihan yang harus dibentuk pada tahun 2008 sebesar Rp 7.500.000. Jumlah tersebut harus tampak di neraca dengan akun “Penyisihan Piutang Tidak Tertagih”. Selanjutnya untuk menentukan berapa besarnya yang dibebankan sebagai biaya, saldo awal akun “Penyisihan Piutang Tidak Tertagih” perlu diperhatikan dahulu.
Diasumsikan saldo awalnya kredit sebesar Rp 3.000.000 selisihnya
(Rp 7.500.000 – Rp 3.000.000) = Rp 4.500.000 menjadi biaya tahun yang bersangkutan dengan ayat jurnal penyesuaian:

Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Biaya Piutang Tidak Tertagih
       Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
4.500.000

4.500.000

Demikian pula sebaliknya apabila saldo debit akun “Penyisihan Piutang Tidak Tertagih” sebesar Rp 1.000.000 maka AJP yang dibuat:
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Biaya Piutang Tidak Tertagih
       Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
8.500.000

8.500.000

Bila dasar saldo penjualan yang digunakan, maka besarnya piutang tidak tertagih yang dibebankan sama dengan penyisihan, maka pembebanannya dibuat adalah AJP seperti berikut ini:
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Biaya Piutang Tidak Tertagih
       Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
2.800.000

2.800.000

Penghapusan Piutang
Pada bulan Januari tahun 2011 ternyata piutang kepada Tn.Yaman sebesar Rp 10.000.000 tidak dapat ditagih.

Ayat jurnal yang dibuat pada saat penghapusan piutang:
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Penyisihan Piutang Tidak Tertagih
       Piutang Usaha
10.000.000

10.000.000

Perlu diperhatikan bahwa atas penghapusan piutang telah didebit pada akun “Penyisihan Piutang Tidak Tertagih” dan tidak pada akun “Biaya”. Pembebanan akibat piutang tidak dapat ditagih telah dilakukan pada waktu pembenttukan penyisihan.
Bagaimana selanjutnya apabila piutang yang telah dihapuskan ternyata debitur melunasi utangnya, maka dapat dibuat AJP sebanyak dua kali, yaitu:
1.    Penyesuaian dengan menimbulkan kembali saldo piutang
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Piutang Usaha
       Penyisian Piutang Tidak Tertagih
10.000.000

10.000.000

2.    Pada saat penerimaan pelunasan piutang
Tgl
Akun
Debit (Rp)
Kredit (Rp)

Kas
       Piutang Usaha
10.000.000

10.000.000


Akuntansi Pajak
Kalau wajib pajak berarti pengusaha kena pajak, wajib pajak (pengusaha) itu wajib memungut PPN atas penyerahan barang dan jasa kena pajak yang dilakukannya. Secara teoretis pengakuan dan pembukuan terhadap penjualan dilakukan pada saat pengiriman barang yang diikuti dengan penerbitan faktur (komersial). Untuk tujuan perpajakan (PPN), pengusaha diminta untuk menerbitan faktur pajak selambatnya 30 hari setelah penyerahan barang (faktur standar) atau bersama-sama pada akhir bulan (faktur gabungan). Karena ada dua faktur (komersial dan pajak) menjadi masalah bagi pengusaha kapan penjualan barang dan jasa harus dibukukan (diakui). Untuk tujuan pajak penghasilan, saat pencatatan penjualan pada umumnya mengikuti praktek akuntansi komersial. Untuk keperluan PPN tentunya saat pencatatan penjualan dapat berbeda dengan saat pencatatan menurut akuntansi komersial dari pajak penghasilan. Namun, karena bersumber dari transaksi yang sama kedua jumlah itu harus dapat direkonsiliasikan. Misalnya, penyerahan barang dilakukan pada 20 oktober 1996 Rp10.000.000,00. Faktur komersial dikeluarkan bulan Oktober, selaras dengan ketentuan perpajakan faktur pajak yang dikeluarkan pada 19 November 1996. Untuk tujuan akuntansi komersial dan pajak penghasilan penjualan itu diakui terjadi pada Oktober. Sementara itu, untuk tujuan PPN penjualan itu dilaporkan sebagai penyerahan pada November.
Dalam akuntansi komersial sering terjadi pemberian potongan perniagaan (trade discount) dan potongan tunai (cash discount). Selain itu, sering terjadi retur penjualan. Praktek akuntansi komersial (dengan mengurangkannya kepada penjualan bruto) tampak diikuti oleh ketentuan pajak. Namun, pembukuan penyisihan (allowance) untuk potongan tunai dan retur penjualan kelihatannya tidak diperkenankan untuk tujuan perpajakan karena ketentuan pajak lebih menekankan pada keadaan senyatanya dan bukan bersifat antisipatif dengan penyisihan itu.
Adalah kelaziman dalam praktek akuntansi komersial untuk membentuk penyisihan (cadangan) guna mengantisipasi kemungkinan kerugian dari piutang tidak tertagih. Terhadap piutang yang diragukan tingkat kolektibilitasnya perusahaan dapat menghapusbukukan dan membebankannya kepada cadangan dimaksud. Ketentuan pajak tidak memperkenankan pembentukan cadangan penghapusan itu. Ketentuan pajak lebih melihat realitas dan memberlakukan metode penghapusan (piutang) langsung (direct written of). Ketentuan pajak lebih mengenal istilah penghapustagihan daripada penghapusbukukan piutang. Jadi, kerugian penghapusan piutang hanya diakui apabila telah diupayakan secara nyata penagihannya. Dalam Penjelasan Undang-Undang diberikan contoh upaya nyata, misalnya, berupa penyerahan piutang ke kantor lelang atau pengadilan. Kalau terjadi pembebasan utang, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) bagian (k) UU PPh 1984 pembebasan itu dianggap merupakan penghasilan (kene pajak) bagi debitor. Dalam hubungan dengan penghapusan piutang dan pembebasan utang seseorang dapat mempertanyakan apakah kedua istilah itu dapat dipersamakan sehingga penghapusan piutang oleh kreditor langsung dianggap sebagai penghasilan debitor.
Akan tetapi, untuk jenis usaha tertentu (bank dan asuransi), SKMK No.80/KMK.04/1995 tanggal 6 Februari 1995 memperkenankan pembentukan cadangan. Besarnya cadangan tiap tahun dihitung berdasarkan pendekatan neraca (a) bank baik pemerintah maupun swasta 3% dari rata-rata saldo piutang awal dan akhir; (b) perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi 2,50% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang; (c) asuransi kerugian 40% dari premi. Selain itu, cadangan kerugian untuk asuransi kerugian sebesar klaim kerugian yang telah ditetepkan oleh tim penyelesaian perusahaan, sedangkan cadangan premi untuk asuransi jiwa dihitung berdasarkan perhitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (Departemen Keuangan). Sementara itu, perusahaan pertambangan deperbolehkan membentuk cadangan dana reklamasi berdasarkan metode satuan produksi dengan penitipan dana reklamasi ke bank pemerintah.
Sebagai contoh, dalam tahun 1995 piutang awal suatu bank swasta Rp10.000.000,00, sedangkan saldo akhirnya Rp25.000.000,00. Dalam tahun 1995 itu terdapat penghapusan piutang Rp100.000,00. Saldo akhir piutang tahun 1996 Rp5.000.000,00. Dari data itu dapat dilakukan beberapa perhitungan sebagai berikut.
1.      Jumlah cadangan penghapusan piutang pada akhir tahun 1995 adalah 3% x (10.000.000 + 25.000.000) : 2 = Rp525.000,00.
2.      Dengan adanya penghapusan piutang Rp100.000,00 maka untuk mendapatkan saldo cadangan piutang Rp525.000,00 harus ada pembebanan ke laba-rugi Rp625.000,00.
3.      Jumlah cadangan penghapusan piutang yang harus ada pada akhir tahun 1996 adalah 3% x (25.000.000 + 5.000.000) : 2 = Rp 450.000,00.
4.      Karena saldo cadangan piutang lebih besar dari ketentuan, sejumlah Rp175.000 harus dipindahkan sebagai penghasilan (kena pajak) ke rugi-laba tahun 1996.
Dalam  praktek akuntansi komersial, karena tidak dikomunikasikan kepada debitor, piutang yang sudah dihapusbukukan (oleh kreditor) adakalanya dibayar kembali (recovered) oleh debitor. Pembayaran kembali piutang yang sudah dihapus itu secara tradisional dibukukan kepada cadangan penghapusan piutang (sebagai penambahan dana). Dari aspek perpajakan sebetulnya transaksi penghapusan pitang tak tertagih sudah dianggap sebagai penghasilan bagi debitor. Apabila dilakukan penetapan pajak yang terutang oleh debitor, mutasi penghasilan itu tentu diketahui oleh pihak debitor. Oleh karena itu, apabila hal itu dilakukan bisa jadi akan terdapat tendensi kemungkinan pembayaran kembali oleh debitor agak tipis. Namun, kalau terjadi pembayaran kembali oleh debitor misalnya, sebagai uang “pembasuh batin” hal itu perlakuannya dapat (a) tidak dikenakan pajak (bagi kreditor) dab bukan biaya pengurang (bagi debitor) dengan pendekatan nontaxable-nondeductible, atau (b) dikenakan pajak pada kreditor dengan memperkenalkan sebagai biaya pengurang (badi debitor) dengan pendekatan keterbalikan (reversel rule), yaitu taxability-deductibility.
Dengan semakin beragamnya metode pendanaan bisnis, kreditor dapat menguangkan piutang sebelum tanggal jatuh tempo. Cara yang dapat ditmpuh, seperti (a) penarikan pinjaman dengan jaminan piutang (pledging of account receivables), (b) menggadaikan piutang (assigment of account receivables), (c) pengalihan hak penagihan piutang (anjak piutang; factoring of account receivables), dan (d) penjualan piutang (outright sale of account receivables). Biaya finansial yang dibayar dan diskonto yang ditanggung pemilik piutang merupakan biaya baginya dan penghasilan bagi pihak kedua.

Piutang Yang Lain
Piutang yang sering terjadi kerena transaksi di luar aktivitas usaha pada umumnya dikelompoknya sebagai piutang yang lain. Piutang itu dapat terjadi karena (a) penjualan sekuritas atau harta selain persediaan; (b) pinjaman (uang muka) kepada pesero, direktur, pengurus, karyawan atau orang lain dan kepada perusahaan afiliasi; (c) setoran atau deposito kepada kreditor, perusahaan, atau instansi lain; (d) pembayaran di muka atas biaya kontrak; (e) klaim kerusakan atau kerugian; (f) klaim restitusi pajak atau pembayaran pemindahbukukan pajak.
Terhadap kelompok piutang ini dapat diikuti praktek akuntansi komersial. Namun, piutang kepada perusahaan afiliasi, persero, direktur, pengurus atau orang lain yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak, untuk tujuan pajak dapat dipertanyakan keasliannya. Piutang itu dapat dikarakterisasi kembali menjadi penyertaan (pada perusahaan afiliasi) atau penghasilan (direktur, misalnya). Kalau untuk tujuan pajak, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU PPh, piutang kepada perusahaan afiliasi direkarakterisasi sebagai modal maka terdapat dualisme pengelompokan dalam penyelenggaraan pembukuan. Untuk pembukuan komersial jumlah itu akan tetap sebagai piutang afiliasi, sedangkan untuk tujuan laporan keuangan fiskal jumlah itu dimasukkan dalam kelompok penyertaan pada perusahaan afiliasi atau investasi. Teknik pembukuannya, mungkin cukup dibuat catatan kaki pada akuntansi komersial (full disclosure). Bagi kreditor rekarakterisasi piutang menjadi penyertaan dapat membawa keuntungan perpajakan apabila atas piutang itu dibayarkan bunga oleh debitor karena bunga diperlakukan senagai dividen. Berdasarkan katentuan Pasal 4 ayat (3) bagian (g) UU PPh, dividen antarbadan seperti itu dibebaskan dari pengenaan pajak.
E. Persediaan
Persediaan menunjuk kepada aktiva yang atau pengertian persediaan menurut PSAK (2007) digunakan untuk menyatakan asset yang:
a.       Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, baik barang dagangan maupun barang jadi untk manufaktur;
b.      Berada dalam proses produksi(barang dalam proses untuk manufaktur dan pekrjaan dalam proses untuk kontraktor;
c.       Dalam bentuk bentuk bahan baku atau perlengkapan ( bahan pembantu) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Persediaan dapat pula dikaitkan dengan hak pemilikan barang sesuai syarat penyerahan pada saat transaksi yang meliputi :
1.      Barang dalam perjalanan (in transit)
Pemilikan barang ini sangat bergantung pada saat penyerahannya. Kemungkinan biaya pengangkutan ditanggung pembeli, maka barang tersebut menjadi milik pembelian, demikian pula sebaliknya.
2.      Barang titipan (barang komisi)
Barang komisi yang belum terjual jelas milik pihak yang menitipkan barang. Ditinjau dari pihak yang menitipkan, barang tersebut sering disebut barang konsinyasi.

Dalam akuntansi terdapat dua system pencatatan persediaan yaitu
  1. Sistem Perpetual
Dalam system perpetual ini persediaan biasanya dapat diketahui secara terus menerus tanpa melakukan inventarisasi fisik (stock opname). Oleh karena itu setiap jenis barang dibuat kartu, dan setiap mutasi persediaan dicatat dalam kartu, baik harga maupun jumlah barang, sehingga pengendalian persediaan menjadi sangat mudah yaitu dengan melakukan pencocokan antara Kartu Persediaan dan hasil inventarisasi fisik.

  1. Sistem periodic
Dalam system periodic, persediaan dihitung dengan melakukan inventarisasi pada akhir periode. Hasil penghitungan tersebut dipakai untuk menghitung Harga Pokok Penjualan. Pada system periodeik, setiap mutasi persediaan tidak dibuatkan pencatatan dan penghitungan persediaannya, seperti telah disebutkan dan tetap dilakukan pengendalian persediaan.

Metode Penilaian Persediaan
Penetapan besarnya nilai persediaan akhir atau Harga Pokok Penjualan dapat menggunakan metode :
  1. Berdasarkan Harga Perolehan
a.       Metode Identifikasi Khusus
Metode ini berasumsi bahwa arus barang sama dengan arus biaya, sehingga setiap kelompok barang diberi identifikasi dan dibuat kartu. Dengan demikian, Harga Pokok untuk setiap barang dapat diketahui, sehingga harga pokok penjualan terdiri atas harga pokok barang yang dijual dan sisanya sebagai persediaan akhir.Metode identifikasi khusus umumnya digunakan untuk perusahaan yang mempunyai persediaan barang relative sedikit tetapi harga per unitnya besar. Sebagai akibat persediaan barangnya dapat diidentifikasi secara khusus, perhitungan harga pokok penjualan dan harga pokok persediaan menggunakan arus harga pokok sebenarnya dari persediaan.
b.      Metode FIFO
Metode ini mendasar pada asumsi bahwa barang yang masuk pertama akan dikeluarkan pertama.
c.       Metode LIFO
Cara ini digunakan dengan mendasarkan pada asumsi bahwa arus pembebanan ke Harga Pokok Penjualan berdasarkan pada harga pembelian terakhir.
d.      Metode Rata-rata
Dengan metode rata-rata pembebanan ke harga pokok untuk barang yang dijual atau untuk persediaan akhir menggunakan rata-rata. Metode harga rata-rata terdiri atas :
1)      Rata-rata sederhana (simple average)
Harga rata-rata dihitung dengan cara menjumlahkan harga pokok per unit (tanpa mengalikan jumlah barang) dibagi dengan banyak harga.
2)      Rata-rata bergerak (moving average)
Seperti pada penghitungan rata-rata tertimbang, pembebanan ke harga pokok penjualan dilakukan setiap terjadi pembelian.

  1. Berdasarkan Estimasi
Penetapan besarnya nilai persediaan akhir dapat dilakukan dengan mendasarkan estimasi pada :
a.       Metode Laba Kotor
Pada metode ini nilai persediaan akhir dihitung mundur dan biasanya digunakan dalam keadaan khusus. Sebagai contoh, perusahaan dalam kondisi terbakar, sehingga sulit menetapkan secara fisik nilai persediaan akhir.
b.      Metode Eceran (Ritel)
Dalam metode eceran, penetapan nilai persediaan akhir berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar (market value). Harga pokok persediaan diestimasi atas dasar hubungan harga pokok dengan harga jual eceran untuk persediaan yang sama dengan cara mengakumulasi semua harga eceran dari persediaan yang dijual. Demikian halnya, persediaan pada harga eceran diperoleh dengan menggunakan penjualan dengan harga eceran persediaan untuk dijual pada periode yang sama.

Metode penilaian lainnya
Sebagaimana telah dijelaskan, menetapkan Nilai persediaan akhir atau harga pokok penjualan tidak didasarkan pada harga perolehan. Hal ini terjadi apabila ternyata manfaat persediaan tidak sepadan dengan harga pokoknya, sebagai contoh akibat kerusakan fisik barang atau sebab lainnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan persediaan akhir atau harga pokok penjualan digunakan :
  1. Harga terendah antara harga perolehan dan harga pasar (Lower of Cost or Market whichever is Lower-LOCOM)
  2. Nilai Jual

Akuntansi Pajak
Sebagaimana telah dijelaskan, berfluktuasinya barang jadi atau bahan baku sebagai arus masuk dan arus keluar menimbulkan harga juga yang berfluktuasi, sehingga menimbulkan juga persoalan penilaian persediaan di dalam harga pokok penjualan.
Dari sisi praktik akuntansi komersial dan akuntansi pajak, tidak ada perbedaan prinsip dalam metode pencatatannya, sehingga metode pencatatan yang dapat digunakan adalah system perpetual, baik rata-rata maupun FIFO, atau metode  fiscal (kolektif) yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (6) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Penghitungan menggunakan metode rata-rata atau FIFO dapat dipelajari pada contoh penghitungan sebagaimana telah disampaikan pada Praktik Akuntansi Komersial. Masalah pelaporan persediaan, sebagaimana telah diatur dalam PSAK  No. 14 tahun 2007 bahwa persediaan dalam neraca dinyatakan sebesar harga pokok atau perolehan (at cost) atau dinyatakan berdasarkan :
  1. Harga terendah antara harga pokok dan harga pasar
  2. Harga jual
Untuk kepentingan penghitungan pajak penghasilan, Pasal 10 ayat 6 Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa persediaan harus dinilai berdasarkan harga perolehan. Dengan demikian wajib pajak yang melakukan penilaian berdasarkan harga jual produk tidak sesuai dengan Undang-undang pajak, harus mengacu kembali pada ketentuan Undang-Undang Pajak yatiu harga perolehan sebagai dasar penilaian persediaan.